MENJELANG Idul Adha 2025, umat Islam kembali disibukkan dengan persiapan menyambut hari besar ini, termasuk memilih hewan kurban yang sesuai syariat. Dalam tradisi kurban, seluruh bagian dari hewan yang disembelih—baik daging, tulang, maupun kulit—dianggap sebagai bentuk ibadah yang memiliki ketentuan tertentu.
Salah satu pertanyaan yang kerap muncul setiap tahunnya adalah mengenai status kulit hewan kurban. Apakah boleh dijual? Ataukah harus diberikan sepenuhnya kepada yang berhak menerima daging kurban?
Dalam ajaran Islam, penyembelihan hewan kurban memiliki waktu dan tata cara yang telah diatur. Penyembelihan dilakukan setelah sholat Idul Adha, tepat pada 10 Dzulhijjah, dan dapat dilakukan hingga hari Tasyrik, yaitu tanggal 11 hingga 13 Dzulhijjah.
Adapun jenis hewan kurban yang disyariatkan adalah kambing, domba, sapi, dan unta. Satu kambing atau domba diperuntukkan bagi satu orang, sementara sapi dan unta dapat dikurbankan atas nama tujuh orang.
Mengenai hukum penjualan bagian dari hewan kurban, termasuk kulitnya, KH Yahya Zainul Ma’arif atau yang akrab disapa Buya Yahya memberikan penjelasan berdasarkan pandangan ulama. Dalam salah satu kajiannya, ia menyampaikan bahwa menurut Mazhab Syafi’i, menjual kulit kurban tidak diperbolehkan.
Dalam tayangan YouTube Buya Yahya yang diunggah pada Jumat, 30 Mei 2025, Buya Yahya menyebutkan bahwa semua bagian dari hewan kurban adalah hak mustahik dan tidak boleh diperjualbelikan, termasuk kulit. “Kulit tidak boleh dijadikan upah bagi sang penyembelih. Dan sang penyembelih tidak boleh menjadikan upahnya dari daging kurban,” ujar Buya.
Ia menekankan bahwa daging maupun kulit tidak boleh menjadi alat tukar atau kompensasi. Jika ingin mengambil bagian dari hewan kurban, maka harus dalam bentuk sedekah, bukan transaksi.
Namun demikian, Buya Yahya menjelaskan adanya kelonggaran jika seseorang memang lebih menyukai kulit dibandingkan daging, dan ingin mengambilnya bukan sebagai bentuk bayaran. “Boleh diambil. Saya gak suka daging, saya sukanya kulit. Ambil kulit. Tapi dijual kulit tidak boleh,” tambahnya.
Pandangan ini didasarkan pada kehati-hatian dalam menjaga kesucian niat dan keikhlasan dalam berkurban, serta mematuhi kaidah fikih yang berlaku dalam Mazhab Syafi’i yang banyak diikuti di Indonesia.
Namun, persoalan menjadi lebih kompleks jika kulit kurban tidak bisa dimanfaatkan. Dalam beberapa kasus, masyarakat tidak memiliki keahlian atau sarana untuk mengolah kulit tersebut, sehingga sering kali kulit menjadi mubazir atau bahkan dibuang.
Menanggapi situasi ini, Buya Yahya mengemukakan bahwa dalam kondisi tertentu, pendapat dari Mazhab Hanbali dan Hanafi dapat dijadikan rujukan. Kedua mazhab ini membolehkan penjualan kulit kurban dengan syarat hasil penjualannya diberikan kembali kepada yang berhak menerima kurban.
“Panitia boleh menjual kulit kurban tersebut. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan juga Imam Abu Hanifah boleh menjual kulit karena kalau dibagikan tidak manfaat. Semua orang belum tentu bisa mengolah. Boleh menjual kulit tersebut kemudian hasilnya dikembalikan kepada orang yang berhak menerima kurban tadi,” jelas Buya Yahya.
Menurutnya, menjual kulit dalam kondisi tertentu bisa menjadi solusi yang lebih maslahat. Dari pada kulit dibiarkan membusuk atau dibuang, lebih baik dijual dan hasilnya tetap diberikan kepada fakir miskin atau pihak yang menjadi sasaran penerima kurban.
Buya Yahya juga menegaskan bahwa langkah tersebut tidak boleh dilakukan sembarangan. Prinsip dasarnya adalah manfaatnya harus tetap kembali kepada mustahik, bukan digunakan untuk keperluan lain.
“Ini (menjual kulit karena tidak ada yang bisa mengolah) kemudahan, tapi selagi bisa dibagi dan bermanfaat bagi mereka bagilah sesuai mazhab kita Imam Syafi’i,” pungkasnya.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum menjual kulit hewan kurban tidak satu suara. Dalam Mazhab Syafi’i, hal ini tidak diperbolehkan, sedangkan dalam Mazhab Hanbali dan Hanafi diperbolehkan dengan syarat tertentu.
Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk memahami konteks dan kondisi di lapangan sebelum memutuskan langkah. Mengikuti mazhab yang diyakini, serta tetap menjaga niat berkurban karena Allah, menjadi landasan utama dalam pelaksanaan ibadah ini.
Idul Adha bukan hanya tentang menyembelih hewan, tetapi juga tentang mengasah kepekaan sosial dan menguatkan ukhuwah antar sesama. Maka, apapun keputusan yang diambil terkait kulit kurban, niat dan manfaatnya tetap harus mengarah pada kebaikan dan keikhlasan. (*)