FAKTA yang terungkap persidangan kasus bullying dan pemerasan di Pengadilan Negeri Semarang atas tiga terdakwa Eks Kaprodi PPDS Anestesi Fakultas Kedokteran Undip Taufik Eko Nugroho, Staf Admin PPDS Sri Maryani dan mahasiswa senior PPDS Anestesi Undip Zara Yupita Azra, memang cukup mencengangkan.
Temuan Kejaksaan Negeri Semarang, yang dibubuhkan dalam dokumen dakwaan terhadap ketiga terdakwa menjelaskan fakta-fakta yang sangat mengherankan. Yakni adanya sistem kasta dalam penyebutan tingkatan mahasiswa atau dokter residen yang menjadi peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran Undip Semarang.
Fakta berikutnya, berangkat dari sistem kasta dalam penyebutan angkatan itu, melahirkan peraturan dan tata karma. Yang oleh kalangan lingkungan PPDS Anestesiologi Undip, aturan dan tatakrama ini kemudian disebut dengan ‘Aturan dan Tatakrama Anestesi’.
Anehnya lagi, baik sistem kasta, aturan dan tatakrama ini berlangsung secara turun temurun sejak lama. Entah sejak kapan waktu dimulainya, nyaris tidak ada yang tahu. Yang jelas sistem kasta, aturan dan tatakrama ini berlangsung sejak lama. Sehingga tak mengherankan bila hal ini baru terungkap setelah ada kejadian tewasnya seorang dokter muda (30), dokter residen peserta PPDS anestesi Undip dr. Aulia Risma Lestari meninggal dunia.
Aulia Risma Lestari, yang merupakan dokter di RSUD Kardinah Tegal, ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya yang ada di sekitar RSUP dr. Kariadi Semarang. Ia iduga mengakhiri hidupnya dengan cara menyuntikkan obat ke dalam tubuh melebih dosis. Saat itu, Aulia Risma berstatus sebagai mahasiswa PPDS Anestesi Undip semester atau angkatan lima.
Sebelum mengakhiri hidupnya, Aulia sempat berkomunikasi dengan ayahnya via voice note terkait kondisi kesehatannya akhir-akhir. Rekaman suara itulah yang menjadi titik awal dugaan jika yang bersangkutan mengakhiri hidup karena tak kuasa menghadapi perilaku bullying, yang ternyata setelah dilakukan penyelidikan kepolisian, tidak hanya bullying yang terjadi, tetapi juga pemerasan, yang diduga disebabkan karena pemberlakukan sistem kasta, aturan dan tatakrama anestesi di PPDS Anestesiologi Undip.
Mahasiswa Anestesi Adalah Dokter Residen
Siapa sebetulnya mahasiswa program pendidikan dokter spesialis anestesi ini? Tidak semua dokter umum, dapat dengan mudah masuk menjadi peserta program pendidikan dokter spesialis anestesi ini. Meskipun jika melihat sisi kebutuhan dokter spesialis anestesi di masing-masing rumah sakit di Indonesia cukup tinggi.
Data dari World Health Organization (WHO), organisasi kesehatan dunia menyebut bahwa Indonesia masih sangat kekurangan dokter spesialis anestesi. Rekomendasi WHO, butuh 4-6 dokter spesialis per 100ribu jiwa penduduk. Sementara saat ini, jumlah dokter spesialis anestesi di Indonesia masih berkisar 3.500-4.500 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk negeri ini, maka kebutuhan dokter spesialis itu jelas sangat kurang. Rasionya masih di angka 0,2 persen, jauh dari cukup.
Dokter spesialis anestesi ini sangat dibutuhkan di dunia kesehatan, terutama untuk rumah sakit di Indonesia, baik rumah sakit negeri atau rumah sakit swasta. Atas kekurangan jumlah kebutuhan dokter spesialis anestesi itu. maka pemerintah dan rumah sakit menggelar program pendidikan dan pelatihan khusus bagi dokter umum untuk masuk dan mengikuti program pendidikan dokter spesialis anestesi.
Salah satu syarat utama untuk mengikuti program pendidikan spesialis anestesi ini, status calon peserta program pendidikan ini harus seseorang yang berprofesi sebagai dokter umum dan sudah menjadi dokter umum di sebuah rumah sakit, atau sudah bekerja sebagai dokter praktik dan mengantongi ijin praktik. Sehingga mahasiswa PPDS ini tak lain adalah orang sudah menjadi dokter umum di sebuah rumah sakit. Yang kemudian mereka yang menjadi mahasiswa program pendidikan ini, disebut sebagai dokter residen.
Keberadaan dokter spesialis anestesi sangat dibutuhkan oleh rumah sakit, baik negeri maupun swasta. Dokter anestesi berperan penting dalam membantu dokter bedah dan bekerja sama dengan perawat dalam mempersiapkan berbagai hal sebelum operasi, memonitor kondisi pasien, memberikan pembiusan selama operasi, serta melakukan observasi pascaoperasi dan memastikan bahwa kondisi pasien tidak memburuk.
Secara teknis, peran dokter anestesi dimulai saat memberikan obat anestesi atau melakukan tindakan intubasi untuk kondisi darurat. Intubasi adalah teknik yang dilakukan untuk mempertahankan jalan napas dan memberikan oksigen, dengan cara memasukkan tabung khusus ke batang tenggorokan melalui mulut.
Bahkan selama perasi berlangsung, dokter anestesi bertugas mengecek dan memastikan tanda-tanda vital keberlangsungan hidup pada pasien. Seperti kondisi pernapasannya, detak jantung, tekanan darah, suhu tubuh, jumlah cairan tubuh, dan kadar oksigen dalam darah pasien yang sedang dioperasi. Sebagai dokter anestesi yang sedang melakukan pelayanan operasi, juga memiliki tugas memastikan kenyamanan pasien selama operasi berlangsung hingga selesai dan pasien kembali ke ruang perawatan.
Bayangkan saja jika setiap rumah sakit di seluruh Indonesia dalam setiap jamnya, melayani pasien yang membutuhkan (tindakan) operasi butuh tenaga dokter anestesi, maka jelas-jelas kebutuhannya masih sangat kurang.
Pemerasan atau Pungli?
Rata-rata dokter umum yang mengikuti program pendidikan dokter spesialis anestesi adalah dokter umum yang direkomendasikan pihak rumah sakit yang membutuhkan. Karena kebutuhan dokter spesialis anestesi ini tak lain tak bukan adalah kebutuhan rumah sakit itu sendiri, maka tidak jarang, pihak rumah sakit memberikan beasiswa bagi dokter umum di rumah sakitnya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis anestesi.
Mengapa ini menjadi kebutuhan mendasar pihak rumah sakit, sebab jika tidak punya dokter anestesi, maka rumah sakit itu tidak dapat memberikan pelayanan tindakan operasi bagi semua pasien yang membutuhkan pelayannya. Sekelas pelayanan terhadap pasien laka lantas pun, atau sekelas pasien yang membutuhkan operasi ringan dan kecil pun, tidak akan berani memberikan layanan operasi jika tidak ada pendampingan dari dokter anestesi.
Itulah mengapa pihak rumah sakit baik negeri maupun swasta ramai-ramai memberikan beasiswa bagi dokter umumnya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis anestesi ini. Dan mungkin karena statusnya beasiswa ini, akhirnya pihak kampus yang menyelenggarakan program pendidikan ini membuat aturan dan tatakrama sebagai aturan informal, yang harus dipatuhi mahasiswa atau dokter residen peserta program pendidikan.
Meskipun akhirnya dalam prakteknya, aturan dan tatakrama ini mengarah pada tindakan bullying oleh snior ke junior, dan bahkan tindak pidana pemerasan. Meskipun sebenarnya kalau ditelisik lebih jauh, tindak pemerasan ini sudah masuk dalam tindak pidana pungli alias pungutan liar. Mengingat yang melakukan pungutan ini statusnya adalah aparatur sipil negara atau ASN dibawah kementerian kesehatan dengan tupoksi sebagai dokter rumah sakit atau dosen di kampus negeri yang memiliki fakultas kesehatan.
Misalnya kasus yang menjerat eks Kaprodi PPDS Anestesiologi FK Undip Taufik Eko Nugroho, Staf Admin Prodi, dan mahasiswa senior PPDS Anestesi Undip Zara Yupita Azra, yang saat ini menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Semarang. Dakwaan untuk ketiganya jelas, Taufik dan Sri Maryani didakwa melakukan pemerasan, dan Zara melakukan bullying dan pemerasan. Tak tanggung-tanggung, nilai pemerasan itu sebesar Rp80 juta per mahasiswa.
Dalam dakwaan itu, disebutkan bahwa setiap calon mahasiswa atau dokter residen peserta PPDS anestesiologi Fakultas Kedokteran Undip, harus membayar sebesar Rp80 juta. Uang tersebut harus ditransfer terlebih dahulu ke rekening pribadi Staf Admin Prodi PPDS Sri Maryani. Kewajiban ini tidak termaktub dalam persyaratan dan aturan resmi yang dikeluarkan pihak kampus atau RSUP dr. Kariadi yang menjadi lokasi praktek pendidikan PPDS.
Menurut analisa psikolog dari Soegijapranata Catholic University, Indra Dwi Purnomo, praktik bullying di lingkungan PPDS Anestesiologi Undip, dapat mempengaruhi pelayanan kepada pasien di rumah sakit, terutama rumah sakit yang dijadikan tempat kegiatan pendidikan. Â Apalagi kegiatan pendidikan praktik dokter anestesi tersebut, sehari-hari bersinggungan dengan pasien di RSUP dr. Kariyadi. Sehingga tindakan bullying ini dikhawatirkan berdampak buruk pada pelayanan pasien.
Istilah junior-senior, sebenarnya menjadi hal lumrah, termasuk di lingkungan pendidikan. Namun, ketika hierarki junior-senior menjadi kasta sosial patologis, dapat berdampak negatif. Sistem tersebut memjadi jalan bagi para senior untuk melakukan eksploitasi terhadap juniornya.
Dalam psikologi, perilaku bullying dapat berakibat pada sikap tidak peka atau minim sensifitas bagi pelaku kepada orang lain. Efeknya tidak memiliki jiwa kasian (empati) atau tidak sensitive atas penderitaan orang lain. Sehingga ini sangat berbahaya jika ia menangani pasien.
Padahal tindakan operasi itu terpaksa dilakukan karena memang kebutuhan utamanya adalah dalam rangka menolong pasien yang sedang sakit dan sangat butuh tindakan operasi dalam rangka menyembuhkan pasien dari penderitaan dan rasa sakit.
Kementerian kesehatan dan kementerian pendidikan tinggi yang terkait dengan program pendidikan dokter spesialis di Indonesia harus melakukan evaluasi atas tindakan bullying dan pemerasan yang sering terjadi di lingkungan PPDS. Jangan-jangan tindakan ini juga terjadi di fakultas kedokteran kampus-kampus di Indonesia, Â atau tidak hanya di Fakultas Kedokteran Undip Semarang?
Ini soal kemanusiaan, bukan sekedar soal kebutuhan mengumpulkan kekayaan.(*)