NARAKITA, BANDUNG – Jagat pendidikan diguncang oleh aksi bejat SADP (18), seorang alumni SMAN 12 Bandung yang tega memasang kamera tersembunyi di toilet perempuan sekolah dan vila perpisahan. Tindakan biadab itu menjadikannya predator digital muda yang kini resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus pornografi oleh Polda Jawa Barat.
Pihak kepolisian mengungkap bahwa SADP telah mempersiapkan aksinya secara diam-diam saat masih berstatus sebagai siswa aktif. Kamera kecil diselipkan di lokasi privat untuk merekam aktivitas korban secara diam-diam. Aksinya terbongkar setelah korban melapor usai menemukan kamera di vila saat acara kelulusan.
“Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Barat menetapkan seorang remaja berinisial SADP (18), warga Kota Bandung, sebagai tersangka dalam kasus pornografi,” ungkap Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan, dalam keterangannya.
Kejadian terbaru terjadi pada 20 Mei 2025 di sebuah vila di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Saat itu, salah satu siswi merasa curiga dengan plastik hitam yang tergeletak di atas rak kamar mandi. Setelah dibuka, ternyata isinya adalah kamera tersembunyi. Korban bersama teman-temannya langsung memeriksa galeri ponsel SADP, dan temuan video vulgar membuat mereka gemetar.
Dari penyelidikan polisi, tercatat ada 19 siswi menjadi korban kejahatan SADP. Tujuh di antaranya menjadi korban saat masih di sekolah, sedangkan 12 siswi lainnya menjadi sasaran saat acara perpisahan di vila Lembang. Fakta itu menunjukkan bahwa aksi SADP bukan sekali dua kali, melainkan sudah direncanakan dan dilakukan berulang.
“Kami menemukan bukti berupa satu buah KTP atas nama SADP, satu unit handphone Samsung M15 biru tua, dua unit device kamera, lima baterai, dua ponsel tambahan, serta file video yang berisi rekaman para korban dengan kondisi tidak berbusana maupun setengah berbusana,” jelas Hendra.
Ironisnya, SADP baru saja resmi lulus dari sekolahnya pada 5 Mei 2025. Belum sebulan jadi alumni, ia langsung ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Polisi menangkapnya setelah laporan para korban diverifikasi dan bukti digital diperoleh secara lengkap.
Kejahatan SADP menciptakan luka dalam bagi para korban yang masih sangat muda dan rentan secara psikologis. Pihak kepolisian kini bekerja sama dengan lembaga perlindungan anak untuk memberikan pendampingan intensif.
Kasus ini menyulut kemarahan publik, terutama para orang tua murid. Mereka menuntut pihak sekolah bertanggung jawab karena kejahatan terjadi di lingkungan sekolah tanpa pengawasan yang memadai.
Sementara itu, pihak sekolah SMAN 12 Bandung belum memberikan pernyataan resmi. Desakan agar pihak sekolah terbuka dan segera mengevaluasi sistem keamanan terus menggema.
Polda Jabar mengimbau seluruh sekolah agar melakukan pemeriksaan rutin terhadap fasilitas privat seperti toilet dan ruang ganti. Selain itu, sekolah juga diminta mulai menerapkan edukasi etika digital bagi para siswa.
Tindakan SADP tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencabik-cabik norma, rasa aman, dan kepercayaan dalam institusi pendidikan. Banyak pihak menilai hukuman berat layak dijatuhkan sebagai efek jera.
SADP dijerat Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Ia terancam hukuman maksimal di balik jeruji besi atas rekaman tanpa izin dan distribusi konten pornografi yang melibatkan anak di bawah umur.
“Kasus ini jadi peringatan keras. Siapa pun yang melakukan pelecehan, baik fisik maupun digital, akan kami tindak tegas. Tidak ada ampun untuk predator, sekalipun pelakunya masih remaja,” tegas Hendra.
Polisi juga membuka hotline khusus untuk menjaring laporan tambahan jika ada korban lain yang belum berani bicara. Dikhawatirkan, jumlah korban sebenarnya bisa lebih dari 19.
Keluarga SADP belum muncul ke publik dan memilih bungkam atas kasus ini. Sementara itu, proses penyidikan terus berjalan cepat. Polisi akan segera melimpahkan berkas ke kejaksaan setelah pemeriksaan dinyatakan lengkap.
Kisah SADP mengungkap sisi kelam generasi digital yang salah arah. Akses teknologi tanpa pengawasan bisa berubah menjadi alat predator yang merusak masa depan orang lain.
Kini, masyarakat menantikan keadilan ditegakkan. Harapan terbesar adalah agar tidak ada lagi remaja lain yang menjadi pelaku—maupun korban—dari kekerasan seksual tersembunyi yang mengintai dalam sunyi. (*)