IDUL ADHA hadir setiap tahun sebagai momentum besar yang penuh makna. Tak hanya menjadi ajang memperingati pengorbanan Nabi Ibrahim AS, tapi juga sebagai kesempatan untuk berbagi kebahagiaan lewat ibadah kurban.
Dalam prosesi ini, ada satu pertanyaan yang kerap mengemuka: apakah orang yang berkurban boleh memakan daging dari hewan kurbannya sendiri?
Pertanyaan ini bukan sekadar teknis, melainkan menyangkut pemahaman terhadap esensi ibadah dan kepatuhan terhadap aturan syariat. Menyembelih hewan kurban adalah bagian awal dari ibadah, namun distribusi daging menjadi poin penting yang harus dijalankan dengan hati-hati.
Untuk menjawabnya, kita harus melihat jenis kurban yang dilaksanakan. Jika kurban tersebut dilakukan secara sukarela atau sunah, maka pemilik kurban (shohibul kurban) dibolehkan mengambil sebagian daging untuk dikonsumsi. Tapi jika kurban tersebut bernazar, maka seluruh bagian daging wajib diberikan kepada yang membutuhkan tanpa terkecuali.
Buya Yahya, pengasuh LPD Al-Bahjah, menjelaskan bahwa konsumsi daging kurban oleh shohibul kurban diperbolehkan dalam batas wajar. “Jika kurban sunah, silakan makan, tapi jangan berlebihan. Sepertiga bagian itu cukup sebagai batas konsumsi,” ujar Buya Yahya.
Praktik ini juga merujuk pada ayat Al-Quran dalam Surah Al-Hajj ayat 28, yang berbunyi:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Makanlah sebagian dari daging hewan kurban itu dan berikanlah kepada orang-orang fakir yang membutuhkan.”
Ayat ini menjadi landasan bahwa ibadah kurban juga bertujuan memberi manfaat bagi orang banyak, termasuk diri sendiri dengan kadar yang bijak.
Selain itu, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Makanlah, sedekahkanlah, dan simpanlah.” Hadis ini memberikan gambaran umum tentang bagaimana distribusi daging seharusnya dilakukan—tidak hanya menyumbang, tapi juga boleh dimakan dan disimpan.
Channel YouTube Al-Bahjah TV juga menayangkan penjelasan Buya Yahya terkait distribusi daging kurban. Ia menegaskan bahwa adil dalam pembagian adalah kunci utama. Tidak boleh tamak, dan tidak boleh pula abai terhadap mereka yang lebih membutuhkan.
Salah satu metode distribusi yang dikenal luas adalah membagi daging kurban ke dalam tiga porsi: untuk shohibul kurban dan keluarga, untuk tetangga atau kerabat, dan untuk fakir miskin. Meskipun ini bukan kewajiban mutlak, namun pembagian seperti ini membantu menjaga keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan kepedulian sosial.
Masyarakat juga dianjurkan untuk mendahulukan mereka yang berada dalam kondisi sulit. Di tengah kondisi ekonomi yang menantang, sebagian shohibul kurban memilih menyerahkan hampir seluruh bagian daging kepada yang membutuhkan, sebagai bentuk solidaritas dan ketulusan.
Namun, dalam kurban nazar, hukumannya berbeda. Karena kurban nazar adalah janji yang harus ditunaikan secara utuh, maka shohibul kurban tidak boleh mengambil satu bagian pun. Semua dagingnya harus disalurkan kepada mustahik tanpa dikonsumsi sendiri. Ini juga disebutkan dalam kitab Fathul Mu’in dan Fathul Qarib, dua rujukan penting dalam fikih mazhab Syafi’i.
Dalam pelaksanaan kurban, transparansi dan keadilan menjadi nilai utama. Jika kurban dilakukan secara kolektif atau patungan, maka pembagian harus berdasarkan kesepakatan dan porsi yang adil. Tidak boleh ada yang merasa dirugikan, karena kurban adalah ibadah, bukan ajang perebutan hak.
Di beberapa wilayah, sistem distribusi daging juga mengalami adaptasi. Misalnya di daerah terdampak bencana atau kemiskinan ekstrem, panitia kurban memilih untuk memusatkan distribusi kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Ini sejalan dengan tujuan kurban itu sendiri—mengangkat martabat kaum dhuafa.
Adapun dalam konteks urban, seperti di kota besar, pembagian daging kurban kini semakin terorganisir. Panitia menggunakan timbangan digital, kemasan vakum, hingga sistem antrean berbasis nomor untuk menjaga ketertiban. Hal ini juga bertujuan menghindari tumpang tindih dan kekecewaan masyarakat.
Salah satu contoh pelaksanaan kurban yang terorganisir bisa dilihat di Masjid Al Azhar Jakarta. Dalam satu kesempatan, mereka memotong ratusan hewan kurban dan membagikannya dalam paket rapi yang didistribusikan ke berbagai wilayah, termasuk wilayah rawan pangan.
Dalam praktik sehari-hari, etika pembagian juga tak kalah penting. Memberikan dengan senyum, tanpa merendahkan, serta tidak membedakan status sosial penerima, merupakan bagian dari akhlak mulia yang diajarkan dalam Islam.
Menyimpan daging kurban juga harus dilakukan secara benar agar tidak cepat rusak. Gunakan wadah bersih, bekukan dalam suhu ideal, dan pisahkan antara daging, tulang, serta jeroan agar kualitasnya terjaga.
Akhirnya, pemahaman tentang boleh tidaknya shohibul kurban memakan daging kurban tidak hanya soal halal atau haram, tapi juga soal hikmah dan kepekaan sosial. Islam mengajarkan keseimbangan antara hak diri dan kepentingan umum.
Dengan mengetahui aturan ini, umat Muslim bisa menjalankan ibadah kurban dengan lebih bijak, tertib, dan penuh berkah. Jangan sampai ibadah besar ini kehilangan maknanya hanya karena keliru dalam pembagian. (*)