NARAKITA, SOLO – Kota Solo tengah diguncang kabar mengejutkan dari dunia kuliner. Rumah makan legendaris Ayam Goreng Widuran, yang telah eksis sejak 1973, mendadak jadi sorotan publik setelah diketahui menggunakan minyak babi dalam olahannya. Temuan ini sontak menuai polemik, khususnya di kalangan masyarakat Muslim yang menghindari bahan non-halal.
Ayam Goreng Widuran yang terletak di kawasan Jebres dikenal luas karena ayam kremesnya yang renyah dan gurih. Namun, di balik kelezatannya, tersimpan fakta bahwa rasa istimewa itu sebagian berasal dari penggunaan lard—minyak yang berasal dari lemak babi. Temuan ini mencuat setelah lebih dari 50 tahun restoran tersebut beroperasi.
Minyak babi memang dikenal di dunia kuliner karena kemampuannya menciptakan tekstur renyah dan rasa gurih mendalam. Namun, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, penggunaannya dalam makanan harus dihindari.
Lard memiliki ciri khas yang membedakannya dari minyak nabati. Dalam kondisi dingin, ia padat dan berwarna putih pucat. Saat dipanaskan, warnanya bening dan menghasilkan aroma khas yang gurih. Namun, mengenali keberadaannya dalam makanan bukan perkara mudah karena penggunaannya sering dalam jumlah kecil.
Aroma gurih yang menempel pada makanan bisa jadi salah satu indikasi kehadiran lard. Tetapi ini bukanlah patokan mutlak, karena banyak bahan lain yang dapat menimbulkan rasa serupa. Hal inilah yang membuat masyarakat perlu lebih cermat, khususnya saat makan di luar rumah.
Minyak babi sering digunakan dalam masakan tradisional tertentu, terutama dari budaya Tionghoa, Barat, dan beberapa daerah Asia lainnya. Ia memiliki titik asap tinggi, menjadikannya ideal untuk menggoreng dengan suhu tinggi tanpa cepat rusak.
Namun, sisi negatifnya tak kalah penting. Kandungan lemak jenuh yang tinggi dalam lard dapat meningkatkan kolesterol jahat (LDL) dalam tubuh. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memicu penyakit jantung dan pembuluh darah. Maka dari itu, konsumsinya harus dibatasi, bahkan dihindari oleh mereka yang memiliki risiko kesehatan tertentu.
Dari sisi keyakinan agama, penggunaan minyak babi jelas bermasalah bagi umat Islam. Karenanya, sertifikasi halal menjadi krusial. Produsen dan pelaku usaha kuliner seharusnya lebih transparan dalam mencantumkan komposisi bahan di label atau menu.
Dalam produk makanan olahan, istilah seperti “lard”, “animal fat”, atau kode aditif seperti E471, E472, dan E482 bisa mengindikasikan penggunaan lemak hewani, termasuk babi. Konsumen diimbau untuk lebih teliti membaca label sebelum membeli.
Selain itu, masyarakat bisa lebih aman dengan memasak makanan sendiri di rumah, atau memilih tempat makan yang telah mengantongi sertifikat halal resmi dari MUI. Tidak semua restoran mencantumkan bahan baku secara gamblang, jadi bertanya kepada pelayan adalah langkah bijak.
Meski memiliki keunggulan dalam memberikan rasa dan tekstur, lard bukan tanpa tandingan. Minyak zaitun, minyak kanola, dan minyak kelapa adalah alternatif sehat yang semakin banyak digunakan karena kandungan lemak tak jenuhnya.
Kisah Ayam Goreng Widuran menjadi pengingat penting akan perlunya transparansi dan kehati-hatian dalam memilih makanan. Terlebih di era informasi seperti sekarang, satu unggahan saja bisa membongkar rahasia lama yang selama ini tersembunyi.
Respons masyarakat pun terbagi. Ada yang kecewa karena merasa ‘tertipu’ selama puluhan tahun, dan ada pula yang menyikapinya dengan bijak—menjadikan momen ini sebagai titik tolak untuk lebih kritis dalam konsumsi.
Kini, polemik minyak babi di Solo menjadi cermin bagi pelaku kuliner lain di Indonesia untuk terbuka dan jujur terhadap bahan yang digunakan. Karena selain soal rasa, kepercayaan pelanggan jauh lebih berharga.
Berikut beberapa tips praktis untuk mengenali dan menghindari makanan yang berpotensi mengandung minyak babi:
- Periksa label secara saksama, terutama produk olahan
- Kenali istilah asing seperti lard, shortening (hewani), atau kode E tertentu.
- Utamakan restoran bersertifikat halal.
- Tanyakan langsung ke staf atau koki mengenai bahan baku
- Hindari tempat makan yang tak jelas sumber bahannya.
- Lebih aman memasak sendiri di rumah menggunakan bahan yang jelas.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran konsumen, diharapkan kejadian seperti ini tidak kembali terulang, dan kuliner Indonesia tetap jadi kebanggaan yang aman dan nyaman untuk semua. (*)