DI TENGAH masyarakat, muncul pertanyaan apakah diperbolehkan berkurban menggunakan ayam jago, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi. Pertanyaan ini kerap muncul menjelang Idul Adha, mengingat semangat berkurban tidak hanya dimaknai sebagai bentuk ibadah, tetapi juga simbol kepedulian sosial dan pengorbanan.
Sebagian warga yang tidak mampu membeli kambing atau sapi kerap mencari alternatif lain agar tetap bisa berpartisipasi, meski dengan hewan yang lebih murah seperti ayam jago.
Di Indonesia sendiri, kurban secara umum dilakukan dengan hewan ternak seperti sapi dan kambing, sebagaimana yang lazim dijumpai dalam tradisi masyarakat Muslim. Penyembelihan hewan kurban pun dilakukan sesuai syariat dengan jenis hewan tertentu yang ditetapkan secara jelas dalam hukum fikih.
Karena itu, munculnya wacana kurban dengan ayam jago seringkali menimbulkan kebingungan, terutama di kalangan awam, apakah hal tersebut sah dan sesuai dengan tuntunan agama atau hanya bentuk sedekah biasa.
Ulama asal Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau karib disapa Gus Baha menceritakan pengalaman saat didatangi oleh seorang pria miskin yang ingin berkurban dengan seekor ayam jago. Cerita ini dikutip dari tayangan kanal YouTube @SantriGayeng, Selasa (27/05/2025).
“Dadi malem badha, kulo niku nate ditekani wong melarat, meh kurban ajam jago,” kata Gus Baha dalam pengajiannya.
Dalam tayangan tersebut, Gus Baha menyebutkan bahwa tamu itu bertanya apakah kurban harus berupa kambing. “Masa kurban kudu wedus, Gus?” ujar si tamu. Gus Baha pun menjawab dengan singkat, “Lha piye.”
Ternyata, tamu tersebut telah membawa ayam jago dan ingin menyerahkannya ke Gus Baha untuk dijadikan kurban. Gus Baha lalu mengatakan, “Cangkemu,” yang menurutnya bukan umpatan, melainkan ekspresi spontan karena kaget dan disambut dengan tawa jamaah.
Orang tersebut mengaku melakukan hal itu karena pengaruh ceramah Gus Baha yang menyatakan bahwa jika tidak bisa ideal, tidak apa-apa. “Ini juga karena njenengan, Gus, katanya tidak bisa ideal tidak apa apa,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Gus Baha menjelaskan bahwa kurban dengan ayam jago tidak ideal secara syariat. “Iya tidak ideal tidak apa-apa, tapi kalau ayam jago jangan diniati kurban. Anggap saja ngasih ke kiainya. Begitu saja, hehehe,” ujar Gus Baha.
Gus Baha menyebut bahwa menyembelih ayam di hari Idul Adha bisa menjadi latihan berkurban, tapi tidak bisa disebut kurban secara hukum.
“Berarti ajarane nancep nang ati. Mumpung isih duene ayam durung wedus, Ayame sedekahna neng Gus Baha siji, kan urung abot… hahahaha… malah olih pitik, repot,” tambah Gus Baha sambil tertawa.
Dalam pengajian tersebut, Gus Baha juga mengingatkan untuk tidak meremehkan orang kaya yang tidak bersedekah. Menurutnya, jumlah yang besar membuat sedekah terasa lebih berat.
“Kalau cuma punya dua ayam, sedekah satu tidak berat. Tapi kalau punya dua sapi, tentu terasa berat,” jelasnya.
Gus Baha juga mengisahkan masa lalunya saat masih kekurangan di Jogja. Meskipun demikian, ia tetap berusaha berpartisipasi dalam Idul Adha.
“Kulo nggih nate mlarat, jaman teng Jogja. Kulo nyembeleh ayam, kadang nggih tumbas daging setengah kilo,” ungkap Gus Baha.
Menurutnya, Idul Adha adalah hari makan-makan, bukan hari puasa. Menyembelih ayam atau membeli daging meski sedikit adalah bentuk merayakan dan menanamkan semangat berbagi.
Namun jika ditanya apakah itu kurban, Gus Baha menyarankan agar dijawab tidak. “Jawab saja, ini hari makan-makan, ikut perintah Allah SWT,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan bahwa pendapat para ulama berbeda. Imam Nawawi tidak membolehkan kurban selain dari hewan ternak, sedangkan Imam Qurthubi membolehkan kurban ayam bahkan telur berdasarkan penafsiran terhadap hadis tentang keutamaan hari Jumat.
“Yang penting jangan dibawa ke masjid, nanti jadi kontroversi,” tegas Gus Baha.
Menurut Gus Baha, jika dilakukan secara pribadi, menyembelih ayam atau telur tetap bernilai baik. Yang terpenting adalah semangat berbagi.
Ia menggambarkan kondisi masyarakat: orang kaya kurban sapi, menengah kurban kambing, dan yang miskin menyembelih ayam atau telur. Semua tetap dalam semangat Idul Adha.
Pandangan ini menunjukkan bahwa meskipun berbeda pendapat, penting untuk memahami kondisi masyarakat dan tetap menjunjung toleransi. (*)