NARAKITA, YOGYAKARTA – Di jantung Kota Yogyakarta yang hiruk pikuk namun sarat makna, terdapat satu ruang yang terus memelihara denyut tradisi dalam bisu malamnya: Alun-Alun Kidul. Tempat ini bukan sekadar pelataran hiburan malam, melainkan semacam simpul waktu yang mengikat masa kini dengan masa silam lewat beringin kembar yang menjulang kokoh.
Dua pohon besar itu berdiri tenang, seolah tak terusik geliat zaman. Banyak yang menganggapnya sakral, sebagian lagi melihatnya sebagai tempat uji nyali dan keberuntungan. Namun bagi warga Yogyakarta, beringin kembar lebih dari sekadar pohon—ia adalah penjaga cerita, simbol kesunyian yang bercerita.
Tak jauh dari kompleks Keraton Yogyakarta, Alun-Alun Kidul menghampar sebagai ruang terbuka yang ramai setiap malam. Tapi di balik keramaian itu, menyelinap mitos yang hidup dalam diam: Masangin, atau “masuk di antara beringin”. Sebuah permainan yang terlihat sederhana, namun menyimpan lapisan makna yang dalam.
Permainannya begini: tutup mata, hadap lurus ke dua beringin, lalu berjalan. Siapa pun yang bisa melewati celah di antara pohon itu tanpa melenceng diyakini akan mendapatkan kemudahan dalam menggapai harapannya. Banyak yang mencoba, sedikit yang berhasil. Mengapa begitu?
Mitos Masangin bukan sekadar permainan. Ia berakar pada tradisi keraton yang dikenal sebagai Topo Bisu. Pada malam 1 Suro, para abdi dalem melakukan ritual ini tanpa berbicara sepatah kata pun. Mereka berjalan dalam diam, melintasi beringin kembar sebagai bentuk pertapaan, mencari keselamatan dan kekuatan spiritual.
Diyakini bahwa di tengah dua pohon itu tersembunyi energi pelindung, bahkan jimat penangkal bala. Maka tak heran, ketika seseorang mampu melewati jalur sempit itu dengan mata tertutup, ia dianggap telah “disetujui” oleh kekuatan tak kasat mata.
Namun zaman bergerak. Di tengah misteri, sains angkat bicara. Para ilmuwan menyebut kegagalan Masangin lebih karena fenomena veering tendency, yaitu kecenderungan tubuh untuk melenceng saat bergerak tanpa referensi visual. Karena tubuh manusia tidak sepenuhnya simetris, dan sistem keseimbangan bergantung pada koordinasi mata, telinga, serta otot, maka berjalan lurus tanpa melihat sangat sulit dilakukan.
Tubuh kita ternyata punya kebiasaan sendiri. Ketika mata tertutup, otak akan mengandalkan sinyal dari telinga bagian dalam dan sensasi otot untuk menjaga keseimbangan. Namun sedikit saja perbedaan antara sisi kiri dan kanan, maka tubuh akan condong ke arah yang dominan tanpa kita sadari.
Hal ini juga terbukti dalam percobaan sederhana yang banyak dilakukan. Ketika seseorang diminta berjalan lurus dengan mata tertutup di lantai, hasilnya nyaris selalu sama—mereka berbelok tanpa sadar. Maka dalam konteks Masangin, kegagalan berjalan lurus bukanlah karena “penolakan gaib”, melainkan hasil dari sistem biologis tubuh kita sendiri.
Namun kepercayaan tetap hidup. Mitos tetap tumbuh bersama malam-malam yang ramai. Di sekitar alun-alun, warung-warung kaki lima mengepulkan aroma jagung bakar, ronde hangat, hingga gudeg khas Jogja. Lampu-lampu odong-odong menyala seperti bintang warna-warni di bumi, menghidupkan malam yang semula tenang.
Ratusan pengunjung datang saban malam. Ada yang penasaran mencoba Masangin, ada pula yang hanya ingin duduk santai sembari menikmati wedang jahe. Di antara gelak tawa dan semilir angin malam, Alun-Alun Kidul menjadi ruang bercampurnya logika dan rasa, ilmu dan kepercayaan.
Yang menjadikan tempat ini istimewa bukan semata karena mitosnya, melainkan bagaimana masyarakat menyikapinya. Tidak menolak penjelasan ilmiah, namun juga tidak sepenuhnya menanggalkan tradisi. Di sinilah letak harmoni Yogyakarta—perpaduan antara yang lama dan yang baru, antara nalar dan spiritualitas.
Alun-Alun Kidul bukan sekadar ruang publik. Ia adalah panggung tempat masa lalu dan masa kini berdialog dengan tenang. Sebuah arena spiritual yang tetap terbuka bagi siapa pun, dari mana pun. Semua disambut, semua boleh mencoba, dan semua akan membawa pulang cerita.
Jika suatu hari kamu berjalan di antara beringin itu, entah berhasil atau tidak, yakinlah bahwa yang paling berharga bukanlah hasil akhirnya—melainkan keberanian untuk mencoba. Karena di tengah keriuhan kota yang terus bergerak, Alun-Alun Kidul tetap menawarkan satu hal yang langka: ruang untuk mendengarkan diam.