NARAKITA, MOJOKERTO – Di sudut kota Mojokerto, Jawa Timur, ada sosok yang selalu menyapa pagi dengan gerobak jamunya. Diyem Wiryo Rejo, nenek berusia 65 tahun, sudah puluhan tahun mengais rezeki dengan menjajakan jamu keliling. Tak ada yang menyangka, perempuan sederhana ini akhirnya bisa berangkat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.
Di balik kesederhanaannya, ada perjuangan panjang yang ia jalani. Setiap hari, Diyem mendorong gerobak jamunya menyusuri gang-gang kota. Untung yang ia dapat kadang tak seberapa, hanya sekitar seratus hingga dua ratus ribu rupiah sehari. Meski begitu, Diyem tak pernah mengeluh. “Kalau ada rezeki, satu bulan bisa terkumpul satu juta,” tuturnya.
Setiap lembar uang yang berhasil ia kumpulkan disisihkan sedikit demi sedikit untuk ditabung.
Mimpi berhaji itu muncul setelah seorang teman memberi saran. “Kalau kamu ada tabungan, buat daftar haji saja,” kenang Diyem saat ditemui di Embarkasi Surabaya. Perkataan itu terus terngiang-ngiang dalam benaknya.
Diyem yang sudah puluhan tahun berjualan akhirnya terdorong untuk mendaftar haji bersama suaminya pada tahun 2012. “Saya dan suami sama-sama punya tabungan dari hasil jualan,” ujarnya. Setelah bertahun-tahun menyimpan rupiah demi rupiah, akhirnya terkumpul modal sebesar 25 juta rupiah.
Diyem mengenang masa-masa sulitnya, ketika pada usia belia ia mulai menjual jamu gendong.
“Dulu jualannya nggak pakai gerobak, tapi gendong. Berat sekali rasanya,” katanya sambil tersenyum. Saat anak-anak lain asyik bermain, ia harus menggendong beban berat mengelilingi kampung. Tak jarang, jika dagangan sepi, Diyem duduk di sudut jalan sambil mengusap peluh. Namun, ia tetap melangkah, yakin bahwa setiap keringatnya adalah doa yang akan terkabul.
Meski tubuh renta, semangat Diyem tetap menyala. Bahkan menjelang keberangkatan hajinya, ia masih menyempatkan berjualan. “Kalau tidak jualan, badan rasanya pegal semua,” ucapnya sambil tertawa kecil.
Diyem tak ingin menjadi beban bagi anak-anaknya. Meskipun mereka sudah melarangnya berjualan, Diyem tetap bertahan dengan aktivitas yang telah ia jalani sejak usia belasan.
Ketika akhirnya Diyem dan suaminya menjejakkan kaki di Bandara Internasional Juanda Sidoarjo pada Kamis pagi, tak ada yang bisa menyembunyikan haru. Mimpi yang bertahun-tahun ia rawat kini menjadi nyata.
“Saya sangat bersyukur bisa pergi haji. Ini cita-cita saya sejak lama,” ungkapnya penuh haru. Sebuah perjalanan panjang dari gerobak jamu ke Tanah Suci, bukti bahwa kerja keras dan doa mampu mengantarkan seseorang menuju impian tertinggi.