NARAKITA, JAKARTA – Permintaan Jaksa Agung agar TNI mengamankan gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) hingga kantor kejaksaan di daerah menuai kontroversi.
Pengamat politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting menduga, akan ada operasi besar-besaran oleh Kejagung, sehingga memerlukan pengamanan ekstra dari TNI.
Hal itu disampaikan Selamat Ginting saat menjadi bintang tamu di podcast Refly Harun.
Akan tetapi, kata Ginting, hal yang janggal dari penjagaan tersebut adalah sikap Kejaksaan Agung yang hanya melakukan nota kesepahaman atau MoU dengan Panglima TNI.
Hal itu memicu persepsi lain dari publik yang menganggap kalau kewenangan pengamanan dalam negeri dilakukan oleh Polri.
Pengamanan kejaksaan oleh personel TNI itu mengacu pada Telegram Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto pada 5 Mei 2025 dan Nota Kesepahaman NK 6/IV/2023 yang diteken pada 6 April 2023.
Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Mayor Jenderal Kristomei Sianturi mengatakan pengerahan prajurit dalam keamanan kejaksaan adalah kerja sama resmi.
Komisi Kejaksaan (Komjak) telah memberikan peringatan kepada Kejaksaan Agung usai personel TNI dikerahkan sebagai personel keamanan kejaksaan.
Ketua Komjak, Pujiyono Suwadi, menilai keterlibatan TNI sebagai personel pengamanan di lingkungan kejaksaan tidak terlepas dari adanya bidang Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (Jampidmil) dan asistennya di tingkat daerah.
Menurut Pujiyono, penyidikan dan penuntutan kasus-kasus yang melibatkan personel TNI atau perkara koneksitas butuh penanganan yang lebih kompleks.
Dalam hal ini, pengamanan dari sesama personel dibutuhkan karena pemeriksaan saksi hingga penyitaan barang bukti dari lingkungan TNI ada aturan mainnya sendiri.
Merespons kontroversi tersebut, Kejagung menjelaskan alasan lebih mengandalkan TNI untuk pengamanan ketimbang Polri.
Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar membantah anggapan bahwa hal itu karena ketidakpercayaan atau ketidakharmonisan dengan kepolisian.
Harli menjelaskan, pengamanan oleh TNI didasari kebutuhan akan tambahan personel yang mendukung profesionalitas dan independensi kejaksaan.
Dukungan ini dimungkinkan karena TNI memiliki kewenangan sesuai fungsi dan tugas pokoknya.
āMoU itu murni soal pengamanan, tidak mencakup proses penegakan hukum,ā ujar Harli.
Harli menyatakan TNI dapat mengamankan objek vital negara yang bersifat strategis.
Menurut Harli, Kejagung dan seluruh kantor kejaksaan di Indonesia termasuk dalam kategori objek vital strategis negara.
Ia menambahkan, lahirnya UU Kejaksaan yang baru juga memperkuat hal ini dengan penambahan struktur baru, yakni Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil).
Pembentukan Jampidmil di tingkat Kejagung turut diikuti dengan penambahan struktur di tingkat Kejati dan Kejari, melalui jabatan asisten pidana militer.
Struktur baru ini melibatkan personel militer aktif, mulai dari jenderal bintang dua hingga perwira menengah.
Harli menjelaskan, keterlibatan personel militer aktif di sejumlah posisi kejaksaan menciptakan hubungan konstitusional yang memungkinkan kerja sama dalam penegakan hukum.
Jampidmil berwenang menangani perkara pidana koneksitas, yakni kasus yang melibatkan pelaku dari unsur sipil dan militer.
Sementara itu, kejaksaan lainnya tetap menjalankan fungsi utamanya sebagai penyidik, penuntut, dan eksekutor putusan pengadilan.
Harli menambahkan, ketentuan-ketentuan tersebut diperkuat melalui nota kesepahaman (MoU) antara TNI dan Kejaksaan Agung, yang salah satu poinnya mencakup kerja sama dalam bidang pengamanan.
Ia menegaskan bahwa kerja sama pengamanan tersebut tidak mengganggu tugas pokok masing-masing institusi. (*)