NARAKITA, SEMARANG – Perlintasan sebidang jalur rel kereta api (KA) di jalan nasional telah banyak memakan korban. Pemerintah sudah saatnya serius membenahi masalah perlintasan sebidang jalur kereta api yang beririsan dengan jalan nasional.
Menunda penyelesaikan masalah hanya akan menambah korban berjatuhan. Kemarin Kamis (8/5/2025), pengemudi truk meregang nyawa usai kendaraannya tertabrak KA Harina di perlintasan sebidang di daerah Kaligawe, Kota Semarang.
“Seharusnya tidak ada lagi perlintasan sebidang di jalan nasional,” ujar Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno saat dihubungi, Jumat (9/5/2025).
Sebenarnya Kementerian Pekerjaan Umum sudah mempunyai Rencana Strategis 2025-2039 tentang Penanganan Perlintasan Sebidang Jalur Kereta Api dengan Jaringan Nasional.
Dalam Renstra tersebut mengamanatkan negara mengalokasikan total anggaran Rp21,39 triliun untuk membangun 138 flyover atau underpass di perlintasan sebidang jalan nasional yang rawan kecelakaan.
Rencana ini terbagi dalam beberapa periode, dengan anggaran sebesar Rp 8,37 triliun untuk 54 flyover/underpass pada 2025-2029, Rp 7,44 triliun untuk 48 flyover/underpass pada 2030-2034, dan Rp 5,58 triliun untuk 36 flyover/underpass pada 2035-2039.
Sayangnya, Djoko yang merupakan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat tersebut menilai bahwa implementasi Renstra tersebut tidak berjalan maksimal.
“Renstra ini tidak berjalan maksimal, terlebih tahun 2025 ada efisiensi anggaran, menyebabkan tidak terbangunnya secara terjadwal dan makin runyamnya persoalan untuk menuntaskan perlintasan sebidang di jalan nasional,” kritiknya.
Menurutnya, efisiensi anggaran yang sedang dicanangkan pemerintah, tidak semestinya berlaku untuk program keselamatan.
“Percuma negara menghasilkan manusia unggul melalui Program Makan Begizi Gratis (MBG) namun pada akhirnya menjadi korban kecelakaan transportasi, akibat anggaran kegiatan untuk yang berkaitan dengan keselamatan transportasi dikurangi bahkan dihilangkan,” tuturnya.
Djoko berpendapat, kejadian kecelakaan di perlintasan belum menjadi isu nasional, masih dianggap kecelakaan biasa. Tidak ada aksi pascakejadian meski korban berjatuhan.
Perencanaan baru sebatas wacana, belum menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN). Negara dinilai belum benar-benar hadir menjalankan amanat sesuai alinea 4 Pembukaan UUD 1945 di jalur perlintasan lintas demi memastikan keselamatan pengguna jalan dan perjalanan kereta api.
Djoko menyinggung sikap masyarakat yang acap kali menyalahkan petugas penjaga palang perlintasan di saat terjadi kecelakaan.
“Ketika ada kecelakaan yang disalahkan petugas penjaga PJL yang dianggap lalai. Sementara yang menugaskan tidak melakukan pembinaaan secara rutin. Padahal yang melanggar adalah pengguna jalan,” bebernya.
Pasal 110 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api, menyebutkan pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dengan jalan, pengguna jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api.
Disebutkan pula jika terjadi pelanggaran yang menyebabkan kecelakaan, maka itu bukan merupakan kecelakaan perkeretaapian. Palang pintu perlintasan berfungsi untuk mengamankan perjalanan kereta api. (bai)