NARAKITA, JAKARTA – Kasus penangkapan aktor Jonathan Frizzy baru-baru ini mengejutkan publik. Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penggunaan vape yang mengandung zat berbahaya bernama etomidate. Kasus ini sekaligus membuka tabir baru tentang bahaya obat keras yang kini mulai beredar lewat media tak lazim: rokok elektrik.
Etomidate selama ini dikenal di dunia medis sebagai obat anestesi intravena yang hanya digunakan di fasilitas kesehatan. Fungsinya adalah untuk membuat pasien tidur atau tidak sadar secara cepat sebelum menjalani tindakan medis darurat seperti pemasangan ventilator atau prosedur operasi besar. Obat ini sangat spesifik dan penggunaannya terbatas hanya oleh tenaga medis profesional.
Menurut penjelasan Prof. Apt. Zullies Ikawati, pakar farmakologi dan farmasi klinik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), etomidate memiliki risiko tinggi bila digunakan sembarangan.
Obat ini biasa digunakan pada pasien kritis dengan kondisi jantung atau tekanan darah yang tidak stabil, misalnya dalam situasi syok atau trauma berat. Karena itu, pengawasan medis yang ketat sangat diperlukan dalam pemberiannya.
Bahaya utama dari etomidate jika digunakan di luar pengawasan medis adalah penekanan terhadap sistem saraf pusat. Obat ini bekerja dengan meningkatkan aktivitas neurotransmiter GABA di otak, yang dapat menurunkan kesadaran secara drastis. Dalam dosis tak terkontrol, pengguna bisa mengalami koma, kejang, bahkan kematian.
Selain itu, efek samping lain dari penyalahgunaan etomidate mencakup mual hebat, muntah, halusinasi, hingga gangguan pernapasan serius. Yang lebih mengkhawatirkan adalah kemampuannya menekan fungsi adrenal—menghambat produksi hormon stres tubuh—yang bisa memicu kondisi syok adrenal fatal jika tidak ditangani segera.
Dalam bentuk aslinya, etomidate hanya diperuntukkan untuk injeksi intravena. Tidak ada studi medis yang mendukung penggunaan zat ini melalui inhalasi atau vape.
“Jika dipanaskan dalam alat vape, etomidate bisa terurai dan menghasilkan senyawa toksik yang sangat merusak jaringan paru,” jelas Prof. Zullies.
Risiko lain dari penggunaan etomidate dalam vape adalah potensi overdosis yang sangat tinggi. Karena pengguna tidak bisa mengontrol seberapa banyak zat yang masuk ke tubuh saat menghirup, maka ambang batas keamanan mudah terlampaui. Ini diperparah dengan tidak adanya data ilmiah tentang reaksi tubuh terhadap etomidate yang dihirup.
Fakta bahwa etomidate kini mulai ditemukan dalam bentuk liquid vape menandakan adanya upaya baru dalam penyalahgunaan zat medis. Ini bukan hanya bentuk pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman serius bagi kesehatan masyarakat, khususnya generasi muda yang menjadi pasar utama produk vape.
Penggunaan vape sebagai media untuk mendistribusikan zat berbahaya menimbulkan tantangan baru dalam pengawasan obat. Produk ini relatif mudah didapat, digunakan secara bebas, dan terkesan modern, sehingga menjadi celah empuk untuk menyusupkan zat ilegal ke dalam masyarakat.
“Vape bukanlah media yang aman maupun legal untuk penggunaan etomidate. Selain tidak stabil dalam suhu tinggi, uapnya bisa membawa partikel berbahaya yang tak hanya merusak paru-paru tapi juga mengganggu sistem saraf,” kata Prof. Zullies.
Hal ini menandakan betapa pentingnya literasi masyarakat terhadap bahaya bahan kimia di balik tren rokok elektrik.
Kasus ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan zat kini tidak lagi terbatas pada narkoba klasik. Obat-obatan keras pun bisa dimodifikasi dan disalahgunakan, bahkan lewat media yang tidak umum. Dalam konteks ini, pengawasan distribusi farmasi dan edukasi publik menjadi sangat penting.
Masyarakat perlu memahami bahwa tidak semua yang tampak ‘aman’ di permukaan benar-benar bebas risiko. Vape yang dimodifikasi dengan bahan medis keras seperti etomidate tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga bisa menjadi senjata mematikan yang bekerja diam-diam di balik aroma uapnya.